Anak Kuli Bangunan yang Lulus Sarjana Kedokteran

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merbabu, tinggallah seorang gadis bernama Nia Prasetya. Usianya 19 tahun. Cantik, ceria, dan selalu membawa senyum dalam setiap langkahnya. Namun ada satu hal yang membedakannya dari remaja lain: Nia tidak memiliki kedua lengan.

Banyak orang menatap iba, beberapa bahkan menjauh karena tak tahu harus berkata apa. Tapi Nia tidak pernah meminta dikasihani. Justru, mg4d ia menunjukkan pada dunia bahwa tubuh yang tak sempurna bukan alasan untuk berhenti bermimpi.

Mengharukan: Kecelakaan yang Merenggut Segalanya

Ketika Nia berusia 10 tahun, ia mengalami kecelakaan listrik yang mengubah hidupnya. Kabel tegangan tinggi jatuh tepat di jalan tempat ia bermain. Arus listrik menyambar tubuhnya dengan brutal. Ia selamat, tapi harus merelakan kedua lengannya diamputasi.

Dari anak yang aktif menari, Nia berubah menjadi pendiam dan menutup diri. Ia berhenti sekolah selama satu tahun. Ia merasa hidupnya sudah selesai. “Apa artinya hidup kalau aku nggak bisa memeluk Ibu lagi?” begitu katanya suatu malam.

Namun, ibunya tak pernah menyerah. Dengan penuh kasih, sang ibu berkata, “Kalau kamu tak bisa menari dengan tanganmu, menarilah dengan hatimu.”

Kata-kata itu menjadi titik balik hidup Nia.

Menggugah: Menari dengan Kaki dan Jiwa

Setelah bertahun-tahun terapi dan pemulihan mental, Nia mulai berani kembali ke dunia luar. Ia mendaftarkan diri di sanggar tari difabel di Solo. Di sana, ia belajar bahwa tubuh bukanlah batas. Ia belajar menari menggunakan gerakan kaki, kepala, bahkan ekspresi wajahnya.

Dan yang mengejutkan, ia justru menjadi penari terbaik.

Dengan iringan gamelan dan lagu Jawa, Nia meluncur di panggung seperti bidadari. Ia mampu mengekspresikan cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan tanpa perlu tangan. Penonton menangis, bukan karena iba, tapi karena takjub.

“Ketika saya menari, saya merasa punya sayap,” ujar Nia, suatu kali dalam wawancara televisi.

Menghebohkan: Tampil di Pentas Nasional

Suatu hari, video penampilan Nia saat membawakan tari “Gambyong Modifikasi” viral di media sosial. Dalam balutan kebaya merah, ia menari dengan anggun menggunakan gerakan kaki dan bahu. Tak ada lengan. Tapi gerakannya memukau.

Video itu ditonton jutaan orang. Komentar dukungan datang dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Banyak yang menyebutnya “Bidadari Tanpa Lengan”.

Beberapa bulan kemudian, ia diundang tampil di pembukaan Festival Seni Difabel Nasional di Yogyakarta. Di atas panggung megah, Nia berdiri tegak, kepala tinggi, tanpa malu, tanpa ragu.

Saat ia menari, tak satu pun mata penonton berkedip. Dan ketika musik berhenti, seluruh aula hening sejenak… lalu gemuruh tepuk tangan tak berhenti selama lima menit.

Banyak media meliput kisahnya. Tapi Nia selalu berkata, “Saya bukan inspirasi. Saya hanya seseorang yang ingin hidup seutuhnya.”

Menginspirasi: Melatih Anak-Anak Difabel Menari

Setelah dikenal luas, Nia tidak memilih untuk mengejar ketenaran. Sebaliknya, ia kembali ke desanya dan membuka kelas tari gratis untuk anak-anak difabel.

Di teras rumah sederhana berdinding anyaman bambu, tiap sore terlihat anak-anak dengan berbagai keterbatasan berkumpul. Ada yang duduk di kursi roda, ada yang memakai kaki palsu, ada pula yang tuna rungu. Namun semuanya tertawa dan menari bersama.

“Saya ingin mereka tahu bahwa mereka indah,” kata Nia sambil menyeka keringat dengan handuk yang dijepit di lehernya.

Tak hanya menari, Nia juga mengajarkan nilai keberanian, harga diri, dan cinta pada tubuh sendiri. Ia mengundang psikolog secara sukarela untuk sesi berbagi. Ia juga menjahitkan kostum panggung dari bahan sisa untuk murid-muridnya.

Puncak Cinta: Melamar Lewat Gerakan

Pada usia 21 tahun, Nia dilamar oleh seorang pria bernama Yoga, yang juga penyandang disabilitas netra. Mereka bertemu dalam acara seni difabel. Yoga jatuh cinta pada Nia bukan karena penampilannya, tapi karena jiwanya.

“Dia adalah cahaya yang membuat saya melihat dunia,” kata Yoga saat melamar Nia dengan lagu yang ia ciptakan sendiri.

Pernikahan mereka sederhana, hanya dihadiri keluarga dan murid-murid sanggar. Namun dalam momen itu, semua orang menangis. Ketika Nia menari bersama Yoga, meski tak berpegangan tangan, cinta di antara mereka terasa nyata dan kuat.

Pernikahan mereka menjadi simbol harapan: bahwa cinta tak melihat tubuh, tapi merasakan ketulusan jiwa.

Penutup: Tubuh Tak Sempurna, Tapi Hidup Penuh Warna

Nia telah mengubah pandangan banyak orang. Ia membuktikan bahwa kehilangan bukan akhir, tapi awal dari bentuk lain perjuangan. Bahwa kita tidak perlu sempurna untuk mencintai hidup, dan bahwa keindahan sejati datang dari keberanian untuk terus melangkah, walau tertatih.

Kini, Nia diundang sebagai pembicara di seminar motivasi, sekolah, hingga kampus. Ia sedang menulis buku otobiografi berjudul “Menari Tanpa Lengan”. Ia juga sedang membangun yayasan kecil untuk pendidikan dan terapi anak difabel di Jawa Tengah.

Dari seorang anak yang hampir menyerah, kini ia menjadi pelita bagi banyak jiwa yang nyaris padam.

Karena dalam hidup, kadang kita harus kehilangan sebagian dari diri kita… untuk menemukan jati diri yang lebih besar.